By Posted: Eman Zai
YA'AHOWU NIAS
ira ama, ira ina,fefu talifusema ni
fosumangema
ira afegu fefu ni omasi'e gu....
salam sejahtera, YA'AHOWU
Sejarah Nias belakangan ini sangat
jarang ditemukan apalagi tentang hubungannya dengan peradaban Batak. Walau
begitu, banyak orang yang yakin dengan kedekatan kedua sub-bangsa ini, apalagi
keduanya sama-sama memiliki sistem masyarakat yang bermarga.
Namun, bila kita cermati dengan
teliti, ternyata hubungan sosial antara Nias dan Batak begitu sangat dekat.
Berbagai sumber sejarah pernah menuliskannya bahkan menggambarkan dengan jelas
hubungan antar keduanya.
Sumber Arab, Ahbar as-Shin wa
al-Hind, yang diterjemahkan menjadi Relation de la Chines et de l’Inde, yang
dikarang pada tahun 851 oleh para ilmuwan Arab, mengatakan bahwa;
“Di laut itu apabila kita berayar ke
Ceylon ada pulau-pulau yang tidak banyak jumlahnya, tetapi besar-besar; tak ada
keterangan lebih lanjut mengenai pulau-pulau itu; di antaranya ada sebuah yang
dinamakan Lambri yang mempunyai beberapa raja, luasnya 8 atau 900 parasangers
(persegi). Emasnya banyak dan ada suatu tempat yang dinamakan Fantsur (Barus)
yang menghasilkan banyak kamper yang bermutu baik. Pulau-pulau tadi menguasai
pulau-pulau lain di sekiranya, ada satu yang namanya Niyan (Nias).
Emas di pulau-pulau itu banyak.
Makananya kelapa yang dipakai sebagai penyedap dan sebagai salep. Kalau ada
yang mau kawin, ia tidak dapat mempersunting perempuan sebelum memperlihatkan
tengkorak salah seorang musuh mereka; kalau dua orang yang dibunuhnya, yang
diperistrinya dua perempuan; begitu pula jika 50 orang yang dibunuhnya,
diperistri 50 perempuan untuk 50 tengkorak. Sebabnya ialah karena musuh mereka
banyak sekali; maka makin berani orang membunuh, makin ia digemari.” (Lihat
terjemahan J. Sauvaget, Paris Les Belles Lettres, 1948, hlm. 4, paragraf 6a)
Di sini sangat jelas disebutkan nama
Nias. Orang Arab saat itu mengenalnya dengan nama Niyan. Niyan atau Nias
seperti yang disebutkan tersebut tunduk pada kekuasaan Fantsour atau Kesultanan
Barus saat itu.
Keberadaan orang-orang Nias banyak
ditulis dalam sejarah perdagangan di pesisir Batak, Barus maupun Sibolga.
Orang-orang Batak banyak yang melakukan perdagangan ke Nias dan begitu juga
sebaliknya.
Dari sisi politik formal, Nias masuk
dalam Kesultanan Barus saat itu. Hal itu terlihat dari isi Konstitusi Dinasti
Pardosi yang mengatakan bahwa Sultan lah yang memiliki pulau dan daratan. Lihat
Fasal Jabatan Raja Dalam Negeri, yang isinya adalah:
1. Merintahkan kepada penghulunya
dan kepada segala penghulu yang takluk kepadanya
2. Menurun dan Menaikkan orang yang berjabatan pekerjaan raja.
3. Memberi aturan dalam negeri atas kebaikan dan selamatan negeri.
4. mempunyai tanah kebesaran dan tanah kosong yang pada barang yang orang punyai tidak lagi.
5. Nan punya rombo.
6. Nan punya Laut.
7. Nan punya Sungai.
8. Nan punya Pulau.
2. Menurun dan Menaikkan orang yang berjabatan pekerjaan raja.
3. Memberi aturan dalam negeri atas kebaikan dan selamatan negeri.
4. mempunyai tanah kebesaran dan tanah kosong yang pada barang yang orang punyai tidak lagi.
5. Nan punya rombo.
6. Nan punya Laut.
7. Nan punya Sungai.
8. Nan punya Pulau.
Posisi Nias dengan tanah Batak,
khususnya Kesultanan Barus, seperti di atas tampaknya bertahan sampai abad
ke-17 M. Hal itu diperkuat oleh penjelasan orang-orang Belanda yang terselip
mengenai hubungan dagang antara kedua negara; Belanda yang diwakili dengan VOC
dengan Kesultanan Barus.
Pada tahun 1668 M, orang-orang
Belanda mengurus izin berdagang ke pemerintahan Kesultanan Barus. Orang-orang
Belanda ingin melakukan transaksi perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Barus yang
kaya dengan komoditas-komoditas yang sangat dibutuhkan dunia saat itu.
Pada saat itu terdapat beberapa
perusahaan dagang asing yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di Barus. Di
antaranya yang terbesar adalah perusahaan dagang yang dimiliki orang Aceh dan
juga perusahaan-perusahaan yang dipunyai oleh orang Cina dan warung-warung
(toko-toko) mereka yang menyebar sepanjang pantai. Komunitas lainnya adalah
komunitas pedagangan pribumi yang pusat-pusat perdagangan mereka tersebar
antara Barus dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya, di antaranya Nias.
Menurut laporan VOC, semua komunitas
ini membentuk ciri khas masing-masing dengan satu pimpinan yang bertanggung
jawab kepada Malim Muara (Captain or Chief of the river mouth) sebuah posisi
yang dilantik oleh Sultan.
Menurut Kroeskamp, Barus, Singkel
dan Nias merupakan wilayah yang menyatu dalam sebuah simbiose
(levensgemeenschap) dan perusahan-perusaan VOC menganggapnya sebagai satu
kesatuan karena masing-masing mempunyai keterikatan hubungan satu sama lain.
Oleh karena itulah, setelah Kesultanan Barus mengeluarkan izin berdagang kepada
“PT” VOC (1672), izin tersebut sudah mencakup kebolehan untuk melakukan
aktivitas dagang (ekspor impor) di Singkil (1693) dan Nias (1694) (lihat:
Corpus Diplomaticum, vol 4, pp 25-54).
Nias dan Perpolitkan Batak
Orang-orang Nias yang ada di Pulau
Nias maupun mereka yang berada di ibukota (Barus), memainkan peran yang sangat
penting dalam peta politik dalam negeri Kesultanan Barus.
Diyakini pergolakan maupun
konstalasi politik saat itu juga dimainkan oleh orang Nias. Termasuk kompetisi
perdagangan, perbudakan, perebutan kekuasaan dan peperangan ke negeri-negeri
terpencil serta beberapa intrik politik lainnya.
Oleh karena itulah, negara dalam hal ini Kesultanan Barus tidak sungkan-sungkan untuk menetapkan Nias sebagai sebuah suku dan daerah yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan negara yang tidak terpisahkan.
Oleh karena itulah, negara dalam hal ini Kesultanan Barus tidak sungkan-sungkan untuk menetapkan Nias sebagai sebuah suku dan daerah yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan negara yang tidak terpisahkan.
Dalam naskah Barus- yang dijilidkan
lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam
Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul
“Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat
Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus- disebutkan bahwa kekuasaan dan
pemerintahan Kesultanan Barus mencakup masyarakat yang terdiri dari berbagai
bangsa. Di antaranya adalah Bangsa Melayu, Aceh, Rawa, Korinci, Batak
Mandahiling, Angkola, Bugis, Jawa, Orang Timur, Hindu (Biasanya berkulit
putih), Keling (Tamil) dan Nias. Belum termasuk orang-orang Batak dari dataran
tinggi seperti Dairi, Toba, Pasaribu dan orang Batak Silindung.
Semua komunitas-komunitas ini diikat
dalam satu kesatuan kewarganegaraan (satulah bangsanya) yang memberi loyalitas
dan ketataan kepada kedaulatan Kesultanan Barus yang mencakup beberapa negeri
di pesisir Barat Sumatera tersebut.
“Adapun di dalam perintah
(kedaulatan dan pemerintahan) Barus itu satulah bangsa orang ada tinggal
Melayu, Aceh, Rawa, Korinci (Kerinci), Batak Mandahiling, Angkola, Bugis, Jawa,
Orang Timur itu orang semuhanya suda bercampur bagitu juga adatnya dan pakaian,
ada juga Hindu, Keling dan Nias.” (Lihat Ibid, Hlm, 32(27)).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar